Tradisi Unik Di Papua

Papua, pulau paling timur di Indonesia ini mungkin tak asing lagi kita. Umumnya orang mengenal pulau Papua sebagai daerah yang sarat akan potensi sumber daya alamnya, dari potensi tambang yang terkenal dengan emasnya, sampai dengan potensi wisata unggulannya yaitu Raja Ampat.

Tak sekedar potensi alam, Papua juga terkenal memiliki kekayaan tradisi dan budaya. Beberapa tradisi dan kebudayaan dari pulau menyerupai burung ini, bahkan telah dikenal hingga ke mancanegara. Diantaranya adalah, seni ukir (pahat), dan festival budaya yang rutin dilakukan di Lembah Baliem (Pegunungan Jayawijaya). Tapi bukan hanya itu, dengan potensi lebih dari 200 suku dan bahasa di Papua, tersimpan tradisi unik lainnya yang tak banyak.

Sebagai informasi tentang potensi tradisi unik di Papua, Budayakita.web.id telah merangkumnya dalam Tradisi Unik Di Papua dibawah ini

Tradisi Bakar Batu, Suku Dani


Tradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama warga 1 kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo dll.

Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).

Ritualnya sebagai berikut:

  1. Batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara.
  2. Berrsamaan dengan itu, warga yg lain menggali lubang yang cukup dalam.
  3. Batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun pisang dan alang2.
  4. Di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yg sudah diiris2
  5. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daun
  6. Di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur2an lainya dan ditutup daun lagi.
  7. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang2.

Babi yg akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.

Hingga saat ini Tradisi Bakar Batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu2 penting yang berkunjung, seperti bupati, gubernur, Presiden dan tamu Penting lainnya. Di sebagian masyarakat pedalaman Papua yg beragama Islam, daging babi diganti dengan daging ayam atau sapi atau kambing, spt di masyarakat adat Walesi di Kab. Jayawijaya.


Tradisi Potong Jari, Tradidi Berkabung Di Papua


Kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang yang cintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat perih.

Lain halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia. Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat tradisi potong jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya dilakukan atau mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.

Bisa diartikan jari adalah symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.

Alasan lainya adalah "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Hisage, Yulianus Joli, 07:2005). Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga baru sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.

Menurut informasi yang telah berkembang, bahwa pemotongan jari umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pemotongan dilakukan oleh anggota orang tua keluarga laki-laki atau perempuan. Jika tersebut kasus yang meninggal adalah istri yang tak memiliki orang tua, maka sang suami yang menanggungnya.

Tradisi potong jari juga dilakukan oleh para Yakuza di Jepang. Tradisi ini muncul dari kaum Bakuto yang berartikan kaum penjudi. Tradisi potong jari disebut dengan yubitsume. Berbeda dengan yang ada di Papua pemotongan jari sebagai penolakan musibah yang merenggut nyawa atau bentuk berkabung karena anggota keluarga meninggal dunia. Akan tetapi yubitsume (potong jari) dilakukan sebagai penyesalan atapun sebagai bentuk hukuman. Awalnya hukuman yubitsume bersifat simbolik, karena ruas atas jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit memegang pedang dengan kuat. Hal ini menjadi simbol kesungguhan dan ketaatan terhadap pemimpin.

Tradisi potong jari di Papua dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Cara lainya yaitu mengikat jari dengan seutas tali sampai beberapa lama waktunya sehingga menyebabkan aliran darah terhenti dan pada saat aliran darah berhenti baru dilakukan pemotongan jari.

Selain tradisi pemotongan jari, ada juga tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh kelompok atau anggota dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai konotasi berarti setiap orang yang telah meninggal dunia telah kembali kea lam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.

Tradisi potong jari pada saat ini belom ada sumber yang mengatakan bahwa masih berlangsung tradisi potong jari, namun belum ada sumber juga yang menyebutkan tradisi ini telah punah dan tidak dilaksanakan lagi. Bisa dikatakan ada namun jarang ditemui atau dilakukan dikarenakan mungkin karena pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua.


Tradisi Iyakyaker Suku Biak Numfor


Keunikan budaya adat istiadat marga dan sub marga di pulau Numfor menjadi daya tarik tersendiri yang tidak jauh berbeda dengan suku-suku Papua lainnya  yang berada di kawasan teluk pesisir Cenderawasih.

Tradisi pemberian maskawin atau dalam  bahasa biak iyakyaker adalah salah satu warisan budaya leluhur yang masih melekat dalam adat istiadat masyarakat di pulau Numfor. Sebagaimana suku-suku di Papua yang menempatkan maskawin sebagai harta yang sangat berharga yang memiliki nilai tersendiri dalam ritual-ritual adat tertentu.

Maskawin di Papua dapat berupa, hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil kebun, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya. Maskawin biasanya dapat digunakan dalam ritual adat lainnya seperti penjemputan tamu, pelantikan kepala suku, pembayaran denda, dan ritual lainnya. Piring antik (ben bepon), dan guci masih sering dijumpai dalam ritual adat terutama dalam prosesi peminangan.

Harta benda berupa maskawin biasanya dipersiapkan jauh hari oleh keluarga sebagai bekal bagi anak-anak mereka yang dikandung dan dibesarkan dalam tatanan keluarga kelak menjalani masa proses peminangan dengan pihak keluarga lain melalui satu ikatan perkawinan adat yang sah.

Sebagaimana yang dilakukan keluarga besar Krey dari keluarga pihak laki-laki dengan keluarga besar Marisan dari pihak perempuan yang menjalani proses tahapan perkawinan adat antara Daniel Krey dengan Marlina Marisan di Pulau Numfor yang merupakan hasil film dokumentasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua.

Awal memasuki rumah tangga lewat orang tua itu yang pertama sejak anak masih dalam kandungan mempersiapkan supaya Ararem. Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat orang biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar, menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem.

Dalam masa peminangan masing-masing keluarga tentu dapat memberi penilaian tentang perilaku kehidupan marga yang dalam tradisi Biak Numfor disebut fafuke.

Fafuke adalah tindakan pengamatan yang dilakukan oleh orang tua terhadap marga-marga yang ada di dalam kampung berupa pola hidup, tindakan, karakter dan juga penilain terhadap wanita yang akan dijadikan anak mantu. Dalam arti mereka mencari sosok Showi yaitu seorang anak mantu yang baik terhadap keluarga mereka.

Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang om dan tante dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Peran saudara om atau paman dalam keluarga sangatlah penting mulai dari proses peminangan, penentuan maskawin hingga pembayaran maskawin.

Apabila pihak perempuan menerima lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah emas kawin biasanya ditentukan oleh status perempuan, latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah emas kawin. Biasanya yang diminta berapa banyak piring kepala (moremore/capero), resa-resa paramasi, jowi, baisus, bensarampa, benuai, ini semua merupakan bentuk maskawin yang lazim digunakan oleh suku Biak di Pulau Numfor. Tahapan berikut adalah menentukan waktu untuk pembayaran maskawin yang ditentukan.

Dalam tradisi masyarakat pulau Numfor mengenal tiga bentuk perjodohan antara lain: anembe dalam makanan pernikahan (an=makanan, embe=nikah), indakwer artinya pada saat peminangan secara terhormat di dalam keluarga bila ada saudara laki-laki yang belum menikah makan indakwer ini akan dilaksanakan. Sementara perjodohan insarmer adalah versi peminangan dengan bentuk perencanaan seorang laki-laki yang ingin membawa perempuan dengan cara yang kasar dalam arti bukan dalam kesan penculikan.

Sayangnya dengan perkembangan globalisasi membuat terkikisnya budaya suku-suku yang ada di Papua termasuk tradisi budaya orang Biak di Pulau Numfor, sehingga tatanan adat tidak lagi sempurna. Namun demikian sebagaian besar masyarakat Biak Numfor masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan warisan leluhur. Perkawinan adat yang ditandai dengan simbol-simbol maskawin tentu sangat mengikat ketika proses tahapan peminangan itu berjalan sesuai dengan tatanan adat.

Tidak hanya mengantar maskawin berupa piring antik dan gusi tetapi yang menarik dalam proses ini adalah adanya bendera merah putih sebagai simbol lambing Negara juga mendapat penghargaan dalam ragam kebhinekaan adat di pulau Numfor.

Memang kebiasaan mengantarkan prosesi emas kawin dengan membawa bendera Merah Putih atau juga simbol bendera yang lain tidak diketahui sejak kapan berlaku. Namun yang jelas dalam budaya Papua tradisi membawa bendera memang belum ada dan baru berkembang sejak masuknya Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).

Sebaliknya pihak perempuan yang sudah menerimah pihak keluarga laki-laki juga menyiapkan sesuatu berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki.

Semua proses ini berjalan sesuai rambu-rambu adat yang sudah ditetapkan yang wajib dilaksanakan namun dalam puncaknya menuju pada wafwoker dimana wor acara adat pimpinan adat memberikan restu kepada keduanya menjadi suami istri yang syah secara adat dibangrengi dengan nasehat dari petua-petua adat dalam keluarga dua belah pihak.  Nasehat-nasehat berupa ungkapan-ungkapan yang mengadung simbol bahwa kita hidup di dunia untuk saling menopang, menunjang dalam bentuk showi ini.

Tradisi perkawinan di Papua khususnya di pulau Numfor ini tentu saja menjadi cerminan budaya Papua yang tentu khasanah untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan.


Tradisi Tato Suku Moi, Papua barat


Selama ini orang hanya mengira bahwa tradisi tato di Indonesia, hanya dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Akan tetapi di Papua ternyata terdapat tradisi merajah tubuh, yang telah berjalan turun temurun. Beberapa suku yang biasanya menghiasi tubuhnya dengan tato adalah suku Moi dan Meyakh di daerah Papua Barat. Motif tato yang dibubuhkan pada tubuh suku-suku di Papua memiliki perbedaan dan ciri tertentu, umumnya tato tersebut memiliki motif geometris atau garis-garis melingkar serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut, atau tridiagonal yang dibariskan. Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan tato di Papua pun memiliki keunikan, diantaranya adalah menggunakan duri pohon sagu atau tulang ikan, dan mencelupkanannya kedalam campuran arang halus dan getah pohon langsat. Umumnya tato dilakukan pada bagian dada, pipi, kelopak mata, betis, pinggul, punggung dan juga di bagian tangan

Demikianlah artikel tentang Tradisi Unik Di Papua semoga dapat menjadi informasi yang bermanpaat untuk sahabat budaya kita sekalian.

No comments for "Tradisi Unik Di Papua"